Minggu, 29 November 2009

PEMERINTAHAN KHULAFAURRASYIDIN

PEMERINTAHAN KHULAFA’ AL- RASYIDIN
Oleh : Mariam, S.Ag

I. PENDAHULUAN
Dengan wafatnya Nabi, maka berakhirlah situasi yang sangat unik dalam sejarah Islam, yakni kehadiran seorang pemimpin tunggal yang memiliki otoritas spiritual dan temporal (duniawi) yang berdasarkan kenabian dan bersumberkan wahyu Ilahi. Dan situasi tersebut tidak akan terulang kembali, karena menurutkepercayaan Islam, Nabi Muhammad adalah nabi dan utusan Tuhan yang terakhir. Sementara itu beliau tidak meninggalkan wasiat atau pesan tentang siapa diantara para sahabat yang harus menggantikan beliau sebagai pemimpin umat. Dalam Al-Qur’an maupun Hadits Nabi tidak terdapat petunjuk tentang bagaimana cara tentang menentukan pemimpin umat atau kepala Negara sepeninggal beliau nanti, selain petunjuk yang sifatnya sangat umum agar umat Islam mencari penyelesaian dalam masalah-masalah yang menyangkut kepentingan bersama melalui musyawarah, tanpa adanya pola yang baku tentang bagaimana musyawarah itu harus diselenggarakan. Itulah kiranya salah satu sebab utama dalam pemilihan empat Al-Khulafa’ al- Rasyidin itu ditentukan melalui musyawarah, tetapi pola musyawarah yang ditempuhnya beraneka ragam, dan juga akan dijelaskan bagaimana wewenang khalifah, struktur pemerintahan dan bagaimana hubungan pemerintahan pusat dengan daerah, seperti yang akan terlhat pada uraian berikut ini.
II. PEMBAHASAN
Setelah Nabi Muhammad SAW wafat, umat Islam mengalami masa kekhalifahan. Ada empat sahabat nabi yang dipilih sebagai khalifah, yang kemudian dikenal dengan nama Al- Khulafa’ al- Rasyidin. Berasal dari kata Khalifah yang artinya pengganti dan Ar – Rasyidin artinya orang-orang yang mendapat petunjuk. Al-Khulafa’ al- Rasyidin artinya orang-orang yang terpilih dan mendapat petunjuk menjadi pengganti Nabi Muhammad SAW setelah beliau wafat tetapi bukan sebagai nabi atau rasul. Adapun sahabat Nabi
Muhammad SAW yang termasuk Al- Khulafa’ al- Rasyidin adalah Abu Bakar As- Shiddiq, Umat bin Khattab, Utsman bin Affan dan Ali bin Abi Thalib.
Dalam pembahasan ini, akan dijelaskan mengenai bagaimana mekanisme pergantian Khalifah, wewenang Khalifah, struktur pemerintahan dan bagaimana hubungan pusat dan daerah, dengan menjelaskan dari urutan Khalifah pertama sampai dengan terakhir.
A. Masa Abu Bakar As- Shidiq (11 – 13 H/632-634 M)
1. Proses Pengangkatan Khalifah
Abu Bakar menjadi khalifah yang pertama melalui pemilihan dalam satu pertemuan yang berlangsung pada hari kedua setelah Nabi wafat dan sebelum jenazah beliau dimakamkan. Penggantian ini terkesan terburu-buru bahkan tidak mengikutsertakan keluarga dekat Nabi, seperti Utsman bin Affan, Ali bin Abi Thalib bahkan putri Rasulullah, Siti Fatimah juga tidakdiberitahu, inilah yang menyebabkan kemarahan keluarga nabi. Keputusan cepat ini diambil, karena keadaan saat itu dinilai sangat genting, sehingga memerlukan tindakan yang cepat dan tegas untuk segera memilih pemimpin pengganti nabi Muhammad. Keadaan genting tersebut disebabkan,adanya usaha dari kelompok Ansor untuk mengangkat Saat bin Ubadah, seorang tokoh Anshor dari suku Khajraj sebagai Khalifah. Umar yang mengetahui hal tersebut langsung menemui Abu Bakar dan menyarankan untuk segera mengangkat khalifah pengganti nabi. Abu Bakar lalu mendatangikelompok Anshor yang sedang melakukan pertemuan di Saqifah atau Balai Pertemuan Bani Saidah, Madinah. Setelah melakukan pembicaraan, kemudian Abu Bakar menawarkan dua tokoh quraisy untuk dipilih sebagai khalifah, yaitu Umar bin Khattab dan Abu Ubaidah bin Jarrah, tapi kesepakatan selanjutnya ternyata memilih Abu Bakar sebagai khalifah dan disetujui oleh perwakilan Kelompok Muhajirin dan Anshor.
2. Wewenang Khalifah
Kekuasaan yang dijalankan masa Khalifah Abu Bakar,sebagaimana pada masa Rasulullah, bersipat Sental ; kekuasaan legislative, eksekutif dan yudikatif terpusat ditangan khalifah. Selain menjalankan roda pemerintahan, khalifah juga melaksanakan hukum. Meskipun demikian, seperti juga Nabi Muhammad, Abu Bakar selalu mengajak sahabat-sahabat besarnya bermusyawarah. Abu Bakar telah mengubah pemerintahan Tuhan (Ilahiyah) yang dipimpin Nabi, menjadi pemerintahan manusiawi (basyariyah) yang bisa dikoreksi dan pada batas-batas tertentu membuka diri pada tindakan oposisi.
3. Struktur Pemerintahan
Abu Bakar menjadi Khalifah hanya dua tahun.masa sesingkat itu habis untuk menyelesaikan persoalan dalam negri, terutama tantangan yang ditimbulkan oleh suku-suku bangsa Arab yang tidak mau tunduk lagi kepada pemerintah Madinah. Setelah menyelesaikan urusan dalam negri, barulah Abu Bakar mengirim kekuatan ke luar Arabia. Hal inilah yang mengakibatkan belum adanya struktur pemerintahan yang baku pada masa itu, selain semua kebijakan pemerintahan ada ditangan khalifah (sentralisik). Hanya pada masa pemerintahan ini sudah didirikan Baitul Maal, yang saat itu dipimpin oleh Abu Ubaidah, untuk membantu perekonomian umat. Pada masa ini juga mulai diprosesnya pembukuan Al Qur’an yang dipimpin oleh Zaid bin Tsabit.
4. Hubungan Pusat dan Daerah
Kota Madinah masih menjadi pusat pemerintahan pada masa khalifah Abu Bakar. Pada masa ini belum banyak daerah-daerah yang ditaklukan, hanya sebagian irak ( al- Hirah) dan syiria yang baru dikuasai. Antara pusat pemerintahan dan daerah yang ditaklukan mempunyai hubungan yang terikat dengan adanya pembayaran pajak pada wilayah yang ditaklukan.

B. Masa Umar bin Khattab ( 13 – 23 H/ 634-644 M)
1. Proses Pengangkatan Khalifah
Berbeda dengan pendahulunya Abu Bakar, Umar bin Khattab mendapat kepercayaan sebagai khalifah kedua tidak melalui pemilihan dalam suatu forum musyawarah yang terbuka. Tetapi melalui penunjukan atau wasiat oleh pendahulunya. Abu Bakar meninggal dunia, sementara barisan depan pasukan Islam sedang mengancam Palestina,Irak dan Kerajaan Hirah. Ia diganti oleh tangan kanannya Umar bin Khattab. Ketika Abu Bakar sakit dan merasa ajalnya sudah dekat, ia bermusyawarah dengan para pemuka sahabat, kemudian mengangkat Umar sebagai penggantinya dengan maksud untuk mencegah kemungkinan terjadinya perselisihan dan perpecahan dikalangan umat Islam. Kebijaksanaan Abu Bakar tersebut ternyata diterima masyarakat yang segera secara beramai-ramai membaiat Umar. Umar menyebut dirinya Khalifah Khalifati Rasulillah (pengganti dari pengganti Rasulullah). Ia juga memperkenalkan istilah Amir al- Mu’minin (Komandan orang-orang yang beriman).
2. Wewenang Khalifah
Masih sama dengan khalifah pendahulunya, khalifah Umar mempunyai wewenang penuh untuk menjalankan roda pemerintahan, dengan tetap bermusyawarah dengan sahabat-sahabatnya, seperti Utsman, Ali,dll.Khalifah Umar mulai mengontrol dari dekat kebijakan public.
3. Struktur Pemerintahan
Khalifah tetap memegang tampuk pimpinan tertinggi, tapi ada perbedaan dengan masa khalifah sebelumnya, mulai ada pemisahan antaralembaga yudikatif dengan eksekutif, dengan mendirikan pengadilan. Khalifah Umar juga memulai membentuk jawatan Kepolisian dalam rangka menjaga keamanan dan ketertiban dan jawatan Pekerjaan Umum. Karena perluasan daerah terjadi dengan cepat, Umar segera mengatur administrasinegara dengan mencontoh administrasi yang sudah berkembang terutama di Persia. Administrasi Pemerintahan diatur menjadi delapan wilayah provinsi, yang dipimpin oleh Amir atau gubernur, daerah tersebut yaitu Makkah, Madinah, Syiria, Jazirah, Basrah, Kufah, Palestina, dan Mesir. Pada masa ini juga telah mulai diatur dan ditertibkan system Pembayaran gaji dan pajak tanah. Umar juga mendirikan Baitul Maal, menempa mata uang dan menciptakan tahun Hijriyah.

4. Hubungan Pusat dan Daerah
Pada masa kepemimpinan Umar, wilayah kekuasaan Islam sudah meliputi Jazirah Arabia, Palestina, Syiria, sebagian besar wilayah Persia dan Mesir. Pemerintahan pusat sangat memperhatikan wilayah-wilayah-wilayah taklukan ini, dengan mulai mengatur administrasi pemerintahan wilayah menjadi provinsi dan mereka bertanggung jawab pada pemerintahan pusat yaitu di kota Madinah. Pengaturan harta rampasan perang dan juga Pajak mulai diberlakukan. Sejauh ini tidak ada kendalayang berarti antara pusat pemerintahan dan daerah.

C. Masa Utsman bin Affan ( 23 – 35 H/ 644-655 M)
1. Proses Pengangkatan Khalifah
Utsman bin Affan menjadi khalifah yang ketiga melalui proses lain lagi, tidak sama dengan Abu Bakar, tidak serupa pula dengan Umar. Dia dipilih oleh sekelompok orang yang nama-namanya sudah ditentukan oleh Umar sebelum dia wafat. Umar menunjuk enam orang sahabat dan meminta kepada mereka untuk memilih salah seorang diantaranya untukmenjadi khalifah. Enam orang tersebut adalah Usman, Ali, Thalhah, Zubair, Sa’ad bin Abi Waqqas dan Abdurrahman bin Auf.setelah Umar wafat, tim ini bermusyawarah dan berhasil menunjuk Usman sebagai khalifah, melalui persaingan yang agak ketat dengan Ali bin Abi Thalib.
2. Wewenang Khalifah
Pemegang Kekuasaan tertinggi berada pada tangan khalifah, sebagai pemegang dan pelaksana kekuasaan eksekutif.
3. Struktur Pemerintahan
Setelah Khalifah Utsman sebagai pemegang kekuasaan eksekutif, diperbantukan dengan sekretaris Negara yang dijabat oleh Marwan bin Hakam. Kekuasaan Legislatif dipegang oleh Majlis Syuro. Pada setiap daerah, dipimpin oleh para gubernur yang merupakan wakil khalifah di daerah untuk melaksanakan tugas administrasi pemerintahan dan bertanggungjawab padanya. Wilayah tersebut diantaranya Makkah, Madinah, Thaif, Shana’a, Al- Janad, Bahrain, Bashrah, Damaskus, Himsh, dan Mesir.
4. Hubungan Pusat dan Daerah
Masa kekhalifahan Utsman merupakan masa yang paling makmur dan sejahtera. Bahkan pada masa ini dikatakan bangsa Arab berada pada posisi permulaan zaman perubahan. Hal ini ditandai dengan perputaran dan percepatan pertumbuhan ekonomi disebabkan aliran kekayaan negeri-negeri Islam ke tanah Arabseiring dengan semakin meluasnya wilayah yang tersentuh syiar agama. Factor-faktor ekonomi semakin mudah didapatkan. Sedangkan masyarakat telah mengalami proses transformasi darikehidupan bersahaja menuju pola hidup masyarakat. Pada petengahan kekuasaannya, pemerintahan Utsman mulai terasa goyang,dengan adanya pemberontakan-pemberontakan dari beberapa daerah yang merasa tidak diperlakukan adil dengan kebijakan-kebijakan yang dikeluarkan oleh khalifah Utsman. Diantara kebijakan yang tidak disukai itu adalah pengangkatan keluarga Utsman pada posisi-posisi pejabat pemerintahan dan posisi Amir/Gubernur. Hal ini menuding fitnah nepotisme pada diri khalifah.Harta kekayaan Negara , oleh kerabatnya dibagi-bagikan tanpa terkontrol oleh Utsman sendiri.Puncak pemberontakan itu adalah, ketika terjadi pengepungan besar-besaran di rumah khalifah Utsman,yang akhirnya membuat beliau terbunuh.
D. Masa Ali bin Abi Thalib ( 35 – 40 H/ 655-660 M)
1. Proses Pengangkatan Khalifah
Pengangkatan Khalifah Ali bin Abi Thalib berawal dengan wafatnya khalifah ketiga Utsman bin Affan,yang terbunuh oleh sekelompok pemberontakan dari Mesir, yang mana mereka tidak puas terhadap kebijakan pemerintahan Utsman bin Affan. Pembunuhan itu menandakan ssuatu titik balik dalam sejarah Islam. Pembunuhan terhadap seorang khalifah oleh pemberontak yang dilakukan oleh orang Islam sendiri, menimbulkan preseden yang buruk dan sungguh-sungguh memperlemah pengaruh agama dan moral kekhalifahan sebagai suatu ikatan persatuan dalam Islam.
Setelah Utsman bin Affan wafat, penduduk Madinah dengan didukung sekelompok pasukan dari Mesir, Basrah dan Kufah mencari siapa yang menjadi khalifah. Mereka meminta Ali bin Abi Thalib, Zubair bin Awwam, Thalhah bin Ubaidillah, Saad bin Abi Waqash dan Ibnu Umar, pada awalnya tidak satupun darimereka yang menjadikhalifah menggantikan Utsman. Setelah mereka berunding, akhirnya mereka mendatangi enduduk madinah agar merekamengambilkeputusan, karena merekalah yang dianggap ahl syuro, yang berhakmemutuskan pengangkatan khalifah, kredibilatas mereka diakui umat. Kelompok-kelompok ini mengancam kalau tidak ada salah satu dari mereka yang mau dipilih menjadi khalifah, mereka akan membunuh Ali, Thalhah, zubair dan masyarakat lainnya. Akhirnya dengan geram mereka menoleh pada Ali. Pada awalnya Ali pun tidakbersedia, beliau sampai menghindar ke rumah milik Bani Amru bin Mabdzul,seorang Anshor. Beliau menutup pintu rumah, beliau menolak menerima jabatan khilafah tersebut, namun mereka terus mendesak beliau.”Sesungguhnya Daulah ini tidak akan bertahan tanpa Amir.” Mereka terus mendesak hingga akhirnya Ali bersedia menerimanya. hal ini dilakukan Ali demi Islam dan menghindari fitnah.
2. Wewenang Khalifah
Wewenang khalifah penuh memimpin Negara, walau dirasakan berbeda dengan pemerintahan Abu Bakar dan Umar, pada pemerintahan Ali dirasakan sudah mulai berkurang system musyawarah. Segera setelah resmi menjadi khalifah, sesuai dengan watak dan kepribadiannya yang lugas serta tegas dan dengan tujuan menjaga integritas dan keamanan Negara, Ia mengambil dua kebijakan poltik yang dianggap sebagai pemicu ketidakpuasan sebagian rakyat dari pemerintahan sebelumnya.
a. Ali memecat para gubernur yang diangkat Utsman, dikarenakan dia yakin bahwa terjadinya pemberontakan-pemberontakan itu disebabkan oleh keteledoran politik kebijaksanaan mereka.
b. Mengambilkembali harta Negara yang dibagikan Utsman kepada para pejabatnya yang sebagian besar dari keluarganya tanpa jalan yang sah. Demikian juga hibah dan pemberian Utsman kepada siapapun yang tanpa alasan, diambil kembali oleh Ali dan diserahkan kepada negara dua kebijakan politik inilah yang mempengaruhi iklim politik pada pemerintahan Ali.
3. Struktur Pemerintahan
Masa pemerintahan Ali tidak pernah sunyi dari pergolakan politik, tidak ada waktu sedikitpun dalampemerintahannya yang dapat dikatakan stabil. Akhirnya praktis selama memerintah, Ali lebih banyakmengurus masalah pemberontakan di berbagai wilayah kekuasaannya. Ia lebih banyak duduk diatas kuda perang dan didepan pasukan yang masih setia dan mempercayaiya dari pada memikirkan administrasi Negara yang teratur dan mengadakan ekspansi perluasan wilayah (futuhat). Namun Ali berusaha menciptakan pemerintahan yang bersih, berwibawa, dan egaliter. Ia ingin mengembalikan citra pemerintah Islam sebagaimana Abu Bakar dan Umar. Namun kondisi masyarakat yang sudah terjerumus pada kekacauan dan tidak terkendali lagi.
4. Hubungan Pusat dengan Daerah
Dimasa Khalifah Ali, pusat pemerintahan dipindahkan ke Kufah. Hal ini karena banyaknya dukungan masyarakat di wilayah tersebut. Karena kebijakan pemerintahan Ali seperti yang telah disebutkan diatas, menimbulkan ketidaksukaan dari beberapa kelompok, individu atau wilayah/kota yang merasa dirugikan oleh kebijakan khalifah Ali tersebut. Tidak ada kejelasan tentang penyelesaian pembunuhan Utsman, juga menjadi pemicu munculnya pemberontakan-pemberontakan bahkan peperangan-peperangan pada masa itu, hingga terjadi perang Jamal dan Perang Shiiffin. Ini menyebabkan hubungan antarapemerintahan pusat dan daerah tiidak harmonis. Pada masa inijuga mulai muncul kelompok-kelompok pemikir Islam yang membawa perubahan besar dalam dunia Islam, hingga saat ini.
III. KESIMPULAN
1. Semasa empat Al- Khulafa’ al- Rasyidin tidak ada satu pola yang baku mengenai cara pengangkatan khalifah atau kepala Negara dan tidak juga terdapat petunjuk atau contoh tentang cara atau bagaimana mengakhiri masa jabatan seseorang kepala Negara.
2. Pada Pemerintahan Nabi, merupakan pemimpin tunggal dengan otoritas yang berlandaskan kenabian dan bersumberkan wahyu serta bertanggungjawab atas tindakan beliau kepada Tuhan semata, maka tidaklah demikian posisi khalifah pengganti beliau. Hubungan mereka dengan rakyat atau umat berubah menjadi hubungan antara dua peserta dari suatukesepakatan atau ‘kontrak sosial’ yang diberikan masing-masing hak dan kewajiban atas dasar timbale balik, seperti yang tercermin dalam bai’at yang disusul dengan ‘pidato pengukuhan’.
3. Walaupun era Al-Khulafa’ al-Rasyidin ditandai dengan sikap terbuka, para khalifah menerima kritik dan koreksi dari umat, hal ini tidak dilembagakan secara baku. Kekuasaan para khalifah dilegitimasi oleh umat sehingga mereka (para khalifah) sepatutnya bertanggungjawab kepada umat yang telah melantik dan mengangkatnya.









IV. DAPTAR PUSTAKA
1. Ibnu Katsir, Al-Bidayah Wan Nihayah, Jakarta: Daarul Haq, 2004.
2. H. Munawir Sjadzali, MA., Islam dan Tata Negara, Jakarta: UI Press, 1993.
3. Dr. Badri Yatim, MA., Sejarah Peradaban Islam, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2005.
4. Ahmad Syalabi, Sejarah Kebudayaan Islam, Jilid.I, Jakarta: Pustaka Al Husna, 1987.
5. Hasan Ibrahim hasan, Sejarah Kebudayaan Islam, Yogyakarta: Penerbit Kota Kembang, 1989.
6. Bernard Lewis, Bangsa Arab dalam lintasan Sejarah, dari segi Geografi, social , budaya dan Persatuan Islam, (Terj. Said Jamhuri), Jakarta: Pedoman Ilmu Jaya, 1988.
7. Prof. DR. Harun Nasution, Islam ditinjau dari berbagai aspeknya, Jakarta: Penerbit UI Press, 1979.
8. A.Latif Osman, Ringkasan Sejarah Islam, Cet. XXIX, Jakarta: Penerbit Widjaya, 1992.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar